Sabtu, 28 Februari 2009

Pembelajaran Bermakna Tipe STAD

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kemajuan teknologi pada saat ini tidak lepas dari peran pendidikan, dan pendidikan merupakan bagian hakiki dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah pendidikan seringkali menjadi topik perbincangan yang menarik dan hangat, baik di kalangan masyarakat luas, lebih-lebih lagi pakar pendidikan. Hal ini merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan ikut terlibat dalam proses pendidikan
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah telah lama dilakukan. Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan oleh guru, antara lain penyediaan buku ajar atau diktat, memperbanyak frekuensi tugas, memberikan nilai plus kepada siswa yang aktif dalam proses pembelajaran mau pun penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS). Namun demikian berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan belum meningkat secara signifikan bahkan dapat dikatakan relatif rendah.
Bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dicita-citakan oleh guru. Mengajarkan suatu bahan pelajaran dengan baik kepada siswa memerlukan pengorganisasian semua komponen pembelajaran. Ada beberapa komponen yang harus diperhatikan dan diterapkan dalam pembelajaran, diantaranya; materi/topik yang akan diajarkan, metode/strategi pembelajaran, pemanfaatan lingkungan, skemata siswa serta alat evaluasi.
Namun kenyataannya, dari hasil penelitian yang telah banyak dilakukan di sekolah-sekolah menunjukkan, sampai saat ini masih banyak guru yang belum bisa dan mampu menerapkan komponen-komponen pembelajaran (Yasa, 2007). Hal inilah yang menyebabkan proses pembelajaran yang terjadi maih bersifat teoritis dan berpusat pada guru (teacher centered). Dalam pembelajaran ini fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum maupun teori-teori yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “kata guru” dan guru merupakan kendali utama dalam pembelajaran. Siswa seolah-olah belajar sebagai pendengar yang baik.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu perubahan di dalam pendekatan pembelajaran. Pembelajaran yang menuntut siswa sekedar untuk menghafal fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum maupun teori-teori harus ditinggalkan. Menurut teori Ausabel belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa (Dahar, 1989; Suparno, 1997; Nursyamsi, 2008). Dengan demikian, konsep yang dipelajari akan dipahami di dalam diri siswa. Pada kesempatan ini, penulis membuat makalah refleksi tentang proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru selama ini dan bagaimana merancang pembelajaran yang bermakna.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah deskripsi dari pembelajaran bermakna?
1.2.2 Bagaimanakah merancang suatu pembelajaran yang bermakna dalam proses pembelajaran?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui deskripsi pembelajaran bermakna.
1.3.2 Untuk dapat merancang pembelajaran yang bermakna dalam proses pembelajaran.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Pembelajaran Bermakna
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan yang memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam bentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettecourt dalam Suparno, 1997).
Belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi. Mengkonstruksi pengetahuan itu adalah siswa sendiri melalui suatu proses aktif, bukan guru yang membangun pengetahuan dipikiran siswa. Dengan demikian, pengetahuan tersebut tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa. Tetapi dalam belajar siswa selalu memberi makna terhadap apa yang dipelajari dengan cara menyesuaikannya dengan pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki (Suparno, 1997).
Ausubel (dalam Nursyamsi, 2008) berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa. Agar terjadi belajar bermakna maka dalam diri siswa harus ada konsep-konsep relevan yang disebut subsumer (Sholahuddin, 2006).

2.2 Merancang Pembelajaran Bermakna
Teori belajar bermakna Ausebel, menekankan bahwa pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta yang baru ke dalam sistem pengertian yang telah dimiliki. Dalam proses ini siswa dapat mengembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Seorang guru pada saat pembelajaran harus mampu merancang pembelajaran bermakna dengan memperhatikan serta menerapkan komponen-komponen pembelajaran yang terdiri dari; materi/topik yang akan diajarkan, metode/strategi pembelajaran, pemanfaatan lingkungan, skemata siswa serta alat evaluasi.
Langkah awal yang harus dipertimbangkan dalam merancang suatu pembelajaran bermakna adalah menentukan materi atau topik yang akan diajarkan kepada siswa. Selama ini materi yang diajarkan oleh guru hanya berasal dari buku ajar (teks book) saja. Selain itu, materi yang diajarkan kurang dikaitkan dengan kehidupan dunia nyata siswa (tidak konstekstual), sehingga dalam proses pembelajaran guru berperan sangat doniman sedangkan siswa hanya sebagai pendengar yang baik saja. Dalam hal ini, seorang guru harus dapat memilih topik yang tepat dengan pembelajaran, artinya topik dipilih atau ditentukan sesuai dengan kehidupan nyata siswa sehingga apa yang dipelajari akan menjadi bermakana dan tidak bersifat menghafal saja.
Dalam seluruh kegiatan pembelajaran strategi pembelajaran memegang peran penting. Tanpa strategi yang tepat seluruh proses pembelajaran akan sia-sia belaka. Oleh karena itu, guru harus mampu menguasai berbagai metode pembelajaran dan benar-benar menguasai metode pembelajaran yang akan digunakan dengan baik. Hal ini sering menjadi kesulitan bagi guru, karena guru sudah terbiasa menguasai satu metode pembelajaran tertentu. Seolah-olah metode yang digunakan guru sudah mendarah daging dalam jiwanya serta sulit sekali untuk diubah. Tentunya semua ini akan menimbulkan kerugian bagi siswa, karena mengajar bukan hanya sekadar menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana suatu bahan pelajaran itu disajikan pada siswa. Dalam proses pembelajarannya guru masih menerapkan metode/strategi klasikal dan ceramah menjadi pilihan utama sebagai metode pembelajaran. Pola pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran yang biasa dilakukan selama ini adalah (1) pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori yang semuanya harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3) diakhiri dengan latihan soal. Pola ini akan membuat siswa kurang aktif di kelas dalam proses pembelajaran serta tidak akan memperlihatkan adanya interaksi siswa di dalam kelas.
Strategi mengajar seperti ini harus ditinggalkan oleh guru, karena kurang merangsang siswa untuk belajar aktif. Saat ini telah banyak dikembangkan model-model pembelajaran inovatif yang sudah terbukti dapat meningkatkan pemahaman siswa, hasil belajar siswa, dan mampu mengurangi miskonsepsi yang dimiliki siswa. Jadi, guru harus mampu menerapkan berbagai strategi pembelajaran sehingga memberikan pengalaman dan kesempatan untuk siswa belajar membangun sendiri pengetahuan yang dimiliki.
Pemanfaatan lingkungan sangat erat kaitannya dengan merencanakan strategi pembelajaran yang diterapkan. Dalam proses pembelajaran selama ini, guru sangat jarang mengajak siswa untuk mengeksplorasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sebagai sumber pelajaran. Pembelajaran guru hanya berorientasi pada buku pelajaran, menyampaikan materi, memberikan contoh soal dan memberikan latihan soal selalu diambil dari buku pelajaran maupun LKS yang dipegang oleh guru dan siswa. Keteribatan guru dalam pembelajaran sangat dominan, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Dominasi guru dapat dilihat saat guru menjelaskan materi pembelajaran, memberikan tugas-tugas dan menyimpulkan materi pembelajaran. Hal inilah yang menyebabkan proses pembelajaran yang terjadi bersifat teoritis dan berpusat pada guru (teacher centered). Kebiasaan guru seperti ini harus diubah, peroses pembelajaran harus berpusat pada siswa (student centred). Hal ini bertujuan agar apa yang dipelajari siswa bersifat nyata dan sesuai dengan kehidupan siswa sehari-hari.
Selama ini guru mengganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum maupun teori-teori yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih berpegang pada teori tingkah laku (behavioristik). Teori ini didasari asumsi bahwa peserta didik (siswa) adalah manusia pasif yang bisa dikontrol dan hanya melakukan respon terhadap stimulus yang datang dari luar. Guru akan merasa bangga ketika anak didiknya mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagaian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diberikan oleh guru. Guru tidak pernah melihat pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa, sehingga guru akan mengajar sesuai dengan kemauannya sendiri.
Seseorang dikatakan belajar jika mampu mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang ia telah punyai. Dalam proses itu seseorang dapat mengembangkan skema yang ada atau mengubahnya (Ausubel dalam Suparno, 1997). Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Dengan demikian, dalam merancang pembelajaran yang bermakan perlu mempertimbangkan skema yang dimiliki siswa agar siswa benar-benar paham dengan apa yang mereka pelajari.
Selain materi/topik yang akan diajarkan, metode/strategi pembelajaran, pemanfaatan lingkungan, skemata, evaluasi juga merupakan hal yang sangat esensial dalam pembelajaran. Dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Menurut Suastra (2007) dalam merancang suatu pembelajaran yang bermakna, guru harus melakukan penilaian yang otentik (Authentic Assessment), penilaian yang dilakukan tidak terbatas hanya dengan tes saja, apalagi jenis tes yang digunakan didominasi oleh tes objektif. Menurut Fogarty (dalam Marhaeni, 2005) tes objektif sangat sedikit kontribusinya terhadap pembelajaran sehingga tidak tepat digunakan untuk semua penilaian yang dilakukan di sekolah. Model penilaian ini tidak dapat mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya karena hanya terfokus pada beberapa aspek saja sehingga tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan dan kelebihannya masing-masing.
Dalam pembelajaran, seorang guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar. Dengan menelaah pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif, memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.




BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Belajar bermakna merupakan suatu proses belajar yang mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang yang sedang belajar.
2. Merancang pembelajaran yang bermakna, ada beberapa komponen pembelajaran yang harus diterapkan diantaranya; materi/topik yang akan diajarkan, metode/strategi pembelajaran, pemanfaatan lingkungan, skemata siswa serta alat evaluasi yang digunakan.

3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat diajukan beberapa saran guna peningkatan kualitas pembelajaran ke depan antara lain sebagai berikut.
3.2.1 Dominasi guru dalam pembelajaran sebaiknya dikurangi, artinya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran, yaitu dengan lebih mengoptimalkan metode diskusi saat siswa menemukan fakta, konsep, prinsip, hukum, maupun teori dalam mengerjakan permasalahan sehingga peran guru sebagai sumber informasi baru bisa diminimalkan atau dengan kata lain keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar bisa lebih diintensifkan. Diskusi bisa dilakukan dengan teman sebangku atau pun diskusi kelompok.
3.2.2 Dalam proses belajar mengajar peran guru hanya sebagai mediator, fasilitator dan moderator, bukan sebagai pemindah pengetahuan. Proses belajar harus membantu siswa dalam membangun pengetahuannya, karena pengetahuan itu dibentuk sendiri oleh siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan yang dihadapinya. Dalam proses belajar mengajar haruslah berpusat pada siswa (student center), artinya siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya, bukan guru yang aktif memberikan pengetahuan pada siswa

DAFTAR PUSTAKA


Afdhee, 2008. Kegagalan Guru dalam Melakukan Evaluasi (Artikel). http://school-development.com/2008/Kegagalanguru.html (diakses Tanggal 19 Pebruari 2008)

Dahar, R. W. 1989. Teori-teori belajar. Jakarta: Erlangga
Marhaeni, A. A. I. N. 2005. Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi Berprestasi dalam Belajar Bahasa Inggris terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris. Disertasi (tidak diterbitkan). Universitas Negeri Jakarta Program Pasca Sarjana Program Studi PEP
Nursyamsi,A. 2008. Teori Belajar. Http://neozonk.blogspot.com/2008/02/teori-belajar.html (diakses Tanggal 19 Pebruari 2008)
Santyasa, I W. 2005. Implementasi pembelajaran inovatif dalam praktik pengalaman lapangan. Makalah. Disajikan dalam pembekalan awal pelaksanaan program hibah kemitraan LPPL IKIP Negeri Singaraja dengan Sekolah Laboratorium IKIP Negeri Singaraja, 18-20 Juli 2005, di Singaraja
Sholahuddin, A. 2006. Implementasi Teori Ausubel pada Pembelajaran Senyawa Karbon di SMU. http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=71&itemid=26
Suastra, I W. 2007. Mengembangkan Penilaian Otentik (Authentic Assessment) dalam Pembelajaran Fisika. Makalah. Disampaikan pada seminar dengan tema “Pengembangan Model Pembelajaran Inovatif dan Asesmen sebagai Antisipasi Pelaksanaan KTSP di SMP/SMA”, tanggal 24 – 25 September 2007, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Suparno, P. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta

Yasa, I P. 2007. Inovasi Model Belajar Sains Sesuai Tuntutan Standar Proses Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Makalah. Disampaikan pada seminar dengan tema “Pengembangan Model Pembelajaran Inovatif dan Asesmen sebagai Antisipasi Pelaksanaan KTSP di SMP/SMA”, tanggal 24 – 25 September 2007, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
`

Tidak ada komentar: