Sabtu, 28 Februari 2009

Implementasi Desentralisasi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Jika diperhatikan lebih khusus tentang prestasi siswa, utamanya di bidang sains, hasil dari tes yang dilakukan oleh Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) mengungkapkan bahwa kemampuan siswa SMP berada pada peringkat ke 32 dari 50 negara yang berperan serta. Sementara tes yang dilakukan oleh Associations for Evaluation of Educational Achievement International (AEEAI) menunjukan bahwa kemampuan sains siswa Indonesia berada pada peringkat 36 dari 50 negara (Santyasa, 2008). Dalam mengatasi hal tersebut, berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan hal itu, berbagai pihak mempertanyakan tentang diamana kekeliruan penyelenggaraan pendidikan kita. Dari berbagai laporan, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Faktor pertama adalah kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini memandang bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menhasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan secara otomatis akan meningkat. Namun dalam kenyataannya tidak, hal ini disebabkan karena yang lebih ditekankan adalah masukan dan keluaran, tanpa memperhatikan proses pendidikannya. Faktor yang kedua adalah penhelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik. Hal ini menyebabkan hampir semua kebijakan diatur oleh birokrasi pusat, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan pusat yang kadang-kadang kebijakannya tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah seolah-olah dikekang sehingga mereka kehilangan kemandiriannya. Sekolah menjadi kurang berinovasi, tidak memiliki motivasi yang bagus, serta kreatifitas dan inisiatifnya untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningktan mutu pendidikannya sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Faktor yang ketiga adalah peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partsipasi guru dalam mengambil keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat dikuatkan, kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh pusat jika guru tidak mengikuti, maka tidak akan terjadi perubahan pada sekolah tersebut. Demikian juga dengan partisifasi masyarakat yang selama ini pada umumnya hanya sebatas pada dukungan dana. Karena manajemen sekolah bersifat sentralistik, maka akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat atau stakeholder pun menjadi kurang.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya perbaikan, salah satunya adalah dengan melakukan reorientasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat (MPMBP) menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Dalam otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Secara umum MPMBS dapat diartikan sebagai model otonomi yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisifasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, dan pegawainya) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan pihak –pihak terkait) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa mengekang dan mengurangi kemandirian sekolah yang bersangkutan.
MPMBS merupakan bagian dari MBS (manajemen berbasis sekolah). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektifitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Dasar dari peningkatan mutu adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, dan mendorong partisifasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berdasarkan hal itu yang menjadi alasan diterapakannya MPMBS adalah sebagai berikut.
1. Dengan pemberian otonomi yang lebih besar, maka sekolah akan lebih inisiatif dan kreatif dalam meningkatkan mutu sekolahnya
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya. Khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya, sehingga dapat megoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan dan meningkatkan mutu sekolahnya.
4. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
5. Penggunaan sumber daya menjadi lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat.
6. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan akan menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
7. Akuntabilitas sekolah akan menjadi tinggi kepada pemerintah, orang tua, dan masyarakat umumnya, sehingga sekolah akan semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah dilaksanakan.
8. Sekolah akan melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah yang lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua , masyarakat, dan pemerintah daetah setempat, dan
9. Sekolah dapat secara cepat dan tepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat setiap saat (Anonim, 2007).
Berdasarkan hal itu, manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah pemberdayaan masyarakat sebagai komponen yang penting dalam penyelengaraan pendidikan (Dantes, 2007). Esensi dari otonomi sekolah adalah pengambilan keputusan yang bersifat partisifatif, yaitu pengambilan keputusan yang melibatkan stakeholder terutama yang akan melaksanakan dan menerima manfaat dari keputusan tersebut.
Selain tiga faktor tersebut, terdapat faktor lain yang sangat menentukan mutu pendidikan. Faktor tersebut dapat digambarkan kedalam perubahan paradigma pendidikan. Perubahan paradigma pendidikan merupakan pergeseran proses pendidikan dari yang berorientasi pada pengajaran teacher centre (guru menjadi pusat informasi) ke pembelajaran yang berorientasi pada student centre. Guru bertindak sebagai perancang kegiatan pembelajaran, sebagai moderator dan fasilitasor bagi peserta didik. Sehingga dalam hal ini peserta didik dituntut menjadi individu-individu yang aktif dan mandiri. Kemandirian dan kreatifitas peserta didik sangat dituntut, sehingga peserta didik menjadi manusia yang utuh dalam membangun dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Degeng (2001), bahwa manusia yang dapat hidup di era global adalah mereka yang memiliki karakteristik mandiri, berketrampilan, dan mampu berpikir divergen. Hal inil tertuang dalam kurikulum tingkat satuan pembelajaran (KTSP) yang sekarang, yaitu mewujudkan tujuan pendidikan nasional, seoperti mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demoktaris dan bertangungjawab (BSNP, 2006).
Agar dapat memiliki karakteristik tersebut, maka peserta didik harus dihadapkan dengan kondisi-kondisi yang sesuai dengan tingkat perkembangannya dan keperluannya hidupnya di masa mendatang. Berdasarkan hal itu, komisi internasional bagi pendidikan yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan, bahwa pendidikan di abab ke 21 harus dilaksananakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan. Enpat pilar pendidikan tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delor dalam Dantes, 2007). Selain itu, UNESCO juga mengebutkan pilar yang kelima, yaitu learning sustainable yang belum dipublikasikan. Dari kelima pilar pendidikan tersebut tersirat makna bahwa peserta didik belajar untuk mengetahui sesuai dengan jenjang pendidikannya melalui belajar malakukan dan mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dimilikinya dengan latihan-latihan, saling menghormati dan menghargai kerja sama. Sementara khusus untuk pilar yang kelima menekankan adar peserta didik mampu untuk mengambarkan masa depan untuk hidup berkelanjutan. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa manusia hidup bukan hanya untuk saat ini saja, tetapi juga untuk masa depan anak cucu mendatang. Dengan demikian diharapkan akan terbentuk individu peserta didik yang berkembang secara utuh, menyadari segala hak dan kewajibannya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mampu menjaga kesinambungan kehidupan di masa mendatang.
Berdasarkan uraian tersebut yang aspek kajiannya cukup luas, dalam tulisan ini akan dicoba dikaji hanya sebatas pada pengelolaan manajemen dan penerapan pembelajaran di SD N 1 Semarapura Tengah, Klungkung.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan pembatasan masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana implementasi desentralisasi pendidikan ditinjau dari pengelolaan kebijakan di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, Klungkung?
2. Bagaimana implementasi desentralisasi pendidikan ditinjau dari sisi pelaksanaan pembelajaran di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, Klungkung?

1.3 Tujuan Penulisan
Dalam penulisan laporan ini, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui implementasi atau pelaksanaan desentralisasi pendidikan ditinjau dari segi pengelolaan kebijakan di SD Negei 1 Semarapura Tengah, Klungkung.
2. Untuk mengetahui implementasi atau pelaksanaan desentralisasi pendidikan ditinjau dari segi pengelolaan pembelajaran di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, Klungkung.

1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat dipetik dari penulisan laporan ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis. Masing-masing manfaat memiliki hubungan yang saling keterkaitan satu sama lainnya.
1. Manfaat Praktis
Laporan ini dapat menggambarkan keadaan riil yang terjadi di lapangan, sehingga dapat digunakan sebagai acauan dalam mengevaluasi diri dan mengambil tindakan selanjutnya.
a. Manfaat Bagi Penulis
Penulisan ini dapat memberikan dan mengembangkan wawasan penulis terhadap pengelolaan kebijakan dan pengelolaan pembelajaran yang ada di sekolah, khususnya di SD Negeri 1 Semarapura Tengah.
b. Manfaat Bagi Sekolah
Sekolah dapat memperoleh gambaran untuk evaluasi dan refleksi terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah dilakukan yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengambil kebijakan berikutnya.
c. Manfaat Bagi Stakeholder
Penulisan laporan ini dapat dijadikan pedoman bagi Stakeholder dan masyarakat yang berkepentingan untuk mengevaluasi diri terkait dengan kiprah dan kontribusinya terhadap pelaksanaan pengelolaan pendidikan yang ada di sekolah, sehingga diharapkan mampu menjadi yang lebih baik dalam peran sertanya memajukan mutu sekolah.
d. Manfaat Bagi Pemerintah
Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dapat memperoleh gambaran sebagai pertimbangan untuk mengevaluasi dan menindak lanjuti pelaksanaan pendidikan di sekolah.
2. Manfaat Teoritis
Penulisan laporan ini dapat dijadikan referensi bagi pengembang dan peneliti pendidikan dalam merumuskan kerangka kerja hingga dapat mengurangi ketidakvalidan data yang akan diperoleh.






BAB II
PEMBAHASAN

Implementasi Desentralisasi Pendidikan Ditinjau dari Segi Pengelolaan Kebijakan di SD Negei 1 Semarapura Tengah, Klungkung.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 22 tentang pemerintah daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanaan terutama PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, harus digunakan sebagai referensi atau acuan. Dengan demikian pendesentralisasian fungsi-fungsi pendidikan tidak akan merubah peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian masih ada beberapa fungsi yang masih harus dikerjakan oleh pemerintah pusat. Hal ini berarti suatu fungsi tidak dapat sepenuhnya dilimpahkan ke sekolah, sebagian masih merupakan porsi kewenangan pusat, sebagian kewenangan dinas propinsi, dinas kabupaten/kota, dan sebagian lainnya dilimpahkan ke sekolah. Fungsi-fungsi yang dapat dilakukan oleh masing-masing sekolah dalam kerangka MPMBS meliputi: proses belajar mengajar, perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengelolaan kurikulum, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah-masyarakat, dan pengelolaan iklim sekolah. Implikasi dari kebijakan ini akan nampak pada adanya perbedaan sistem pengelolaan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya, tetapi tetap berdasarkan pada tujuan yang sama.
Berdasarkan hal itu, realita di lapangan perlu ditelusuri sejauh mana manajemen peningktan mutu berbasis sekolah (MPMBS) ini telah dilaksanakan oleh sekolah, khususnya di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, Klungkung. Berikut adalah paparan kebijakan-kebijakan yang ada dan telah direalisasikan di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, Kabupaten Klunglung.
1. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberikan kebebasan dalam memilih srategi, metode dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik siswa, guru, dan kondisi nyata sumber daya yang ada di sekolah. Menurut bapak Wayan Suarjana selaku kepala sekolah di SD Negeri 1 Semarapura Tengah menyatakan, bahwa pengelolaan kelas dan pembelajaran sepenuhnya dilimpahkan kepada guru masing-masing. Walaupun demikian kepala sekolah selaku pimpinan lembaga tetap melakukan supervisi terhadap proses yang terjadi. Dalam penentuan guru kelas, guru siapa yang mengajar di kelas berapa ditentukan oleh hasil rapat atau kebijaksanaan antara masing-masing guru. Setelah terjadi kesepakatan diatara mereka, selanjutnya baru dikoordinasikan pada bagian kurikulum. Secara umum, berdasarkan teori strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, dan bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu, cara-cara belajar siswa aktif seperti active learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan. Menurut bapak Wayan Suarjana, di sekolah yang dipimpinnya ada beberapa guru yang memang sudah melaksanakan pembelajaran active learning. Guru tersebut mengajak siswanya ke museum Semarajaya, Kertagosa, dan Lapangan Puputan. Disana siswa disuruh mencatat hasil temuannya, kemudian siswa membuat sebuah laporan kecil dan menyajikannya di depan kelas. Dalam hal ini siswa juga diperankan sebagai tutor sebaya. Namun demikian, sebagian besar guru masih melakukan pembelajaran secara konvensional dan books oriented.
2. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi wewenang untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Misalnya kebutuhan terhadap peningkatan mutu sekolah. Sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu yang dijadikan pedoman dalam pembuatan rencana peningkatan mutu. Di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, dalam penyusunan program sekolah, selama ini dilakukan oleh staf pimpinan sekolah, guru, dan komite sekolah. Peran komite sekolah dalam memberikan sumbangsih pemikirannya menurut bapak Suarjana cukup besar, walaupun dalam undangan rapat atau undangan yang lain, komite sekolah maupun masyarakat tidak dapat hadir 100%. Hal ini disebabkan oleh kesibukan masing-masing.
Berdasarkan MPMBS, sekolah juga diberi wewenang dalam melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Penyampaian hasil evaluasi ini dapat dilakukan kapan saja, tetapi umumnya di SD Negeri 1 Semarapura Tengah dilakukan saat rapat-rapat tertentu. Seperti dalam rapat semesteran atau rapat-rapat yang lainnya.
3. Pengelolaan Kurikulum
Secara teoritis kurikulum yang dibuat oleh pemerintah pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Mengingat kondisi masing-masing sekolah sangat beragam, maka dianjurkan dalam implemetasinya, sekolah dapt mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, namun tidak sampai mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, pengelolaan kurikulum seperti dalam pembuatan persiapan perangkat mengajar guru (silabus, RPP, dan lainnya) diserahkan pada guru yang bersangkutan. Sekolah memfasilitasi dalam bentuk pelatihan. Apakah gurunya ikut pelatihan di dinas pendidikan ataukah yang lainnya. Idealnya dalam pelatihan tersebut guru-guru melakukan diskusi untuk membuat persiapan mengajarnya.
4. Pengelolaann Ketenagaan
Dalam pengelolaan ketenagaan di sekolah, pihak sekolah juga melibatkan peran serta masyarakat., yang dalam hal ini diwakili oleh komite sekolah. Idealnya, pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi, hubungan kerja, sampai evaluasi kerja tenaga kerja (guru, tenaga administrasi, laboran, dan tenaga lainnya) dapat dilakukan oleh sekolah. Khusus untuk imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri sampai saat ini masih dipegang oleh birokrasi kepemerintahan di atasnya. Di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, pihak sekolah dan komite sekolah mengadakan rapat gabungan untuk membahas kebutuhan tenaga kerja. Apabila dalam rapat tersebut terindikasi ada kekurangan guru, akan disepakati untuk mencari guru honorer. Demikian juga untuk tenaga yang lainnya.
5. Pengelolaan Fasilitas (Sarana Prasarana) Pendidikan
Pengelolaan sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari leh kenyataan, bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitasnya, mulai dari kecukupan, kesesuaian, sampai kemutahirannya, terutama fasulitas yang sangat erat hubungannya dengan pembelajaran. Menurut kepala SD Negeri 1 Semarapura Tengah dan hasil pengamatan, sarana prasarana diusulkan oleh pimpinan sekolah berdasarkan hasil rapat warga sekolah dan komite sekolah. Pada saat observasi, sekolah sedang melakukan perbaikan gerbang sekolah dan penataan taman sekolah yang dikerjakan oleh tenaga dari masyarakat. Diambilnya tenaga ini berdasarkan persetujuan warga sekolah. Untuk sarana dan prasarana yang lainnya, sekolah bersama komite sekolah sepakat mengambil hal-hal lebih penting dan harus diprioritaskan keberadaannya dengan memperhatikan RAPBS yang tersedia.
6. Pengelolaan Keuangan
Keuangan sekolah tercantum seluruhnya pada RAPBS dan APBS. RAPBS untuk disahkan menjadi APBS harus disepakati oleh pihak sekolah dan komite sekolah melalui musyawarah. Pemerintah dalam hal ini hanya memberikan sumber umum pendanaan, sementara pengelolaannya sepenuhnya dilakukan oleh sekolah, termasuk dana BOS yang diterima sekolah. Di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, dana tersebut dipakai sebagai dana untuk melengkapi fasilitas sekolah, seperti pengadaan buku pelajaran atau sarana yang lainnya. Terkait dengan RAPBS, kepala sekolah, dewan guru, berserta komite sekolah menyepakati RAPBS menjadi APBS. APBS selanjutnya disosialisasikan kepada warga sekolah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas atau pertanggungjawaban dan transparansi manajemen. Secara teoritis, pemerintah memberikan kebebasan kepada sekolah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mendatangkan penghasilan (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung kepada pemerintah. Di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, menurut bapak Suarjana sudah dilakukan kegiatan pengelolaan koperasi sekolah. Sementara untuk kegiatan yang lain belum ada.
7. Pelayanan Siswa
Dalam menangani kesiswaan, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, dan pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni dilakukan oleh sekolah. Di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, menurut kepala sekolahnya selama menjabat belum pernah dilakukan penelusuran terhadap alumninya. Dalam mengembangkan kreatifitas siswa, sekolah menyediakan ekstra kurikuler kepramukaan. Semua siswa diwajibkan mengikuti kegiatan tersebut yang biasanya dilakukan pada hari Sabtu sore atau Minggu pagi. Di SD 1 Semarapura belum pernah ada siswa yang diberhentikan karena kenakalannya ataupun karena hal lainnya. Menurut keterangan bapak Wayan Suarjana selaku kepala sekolah, selama menjabat beliau belum pernah menemukan siswa yang berhenti sekolah ataupun pindah sekolah.
8. Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adlah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, rasa kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat berupa moral dan finansial. Dalam aeri yang sebenarnya hubungan sekolah dan masyarakat dari dulu sudah disentralisasikan. Jadai yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah masyarakat. Di SD negeri 1 Semarapura Tengah hal ini sudah dilakukan. Sebagai contoh, ketika siswa mengadakan program kunjungan ke suatu objek wisata seperti di Museum-Kertagosa, pihak sekolah terlebih dahulu membicarakan maksud tersebut dengan pihak terkait untuk memperoleh kesepakatan.
9. Pengelolaan Iklim Sekolah
Iklim sekolah, baik fisik maupun non fisik yang kondusif merupakan prasyarat bgi terselenggaranya pembelajaran yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan ekspetasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student centered activities) adalah contoh-contoh yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pimpinan di SD Negeri Semarapura Tengah adalah dengan bersiap terbuka. Kepala sekolah berserta stapnya, baik dalam acara resmi maupun acara tidak resmi selalu mengutamakan ketransparanan dan keterbukaan. Segala sesuatu yang berkepentingan dengan sekolah disampaikan secara transparan, utamanya adalah tentang keuangan. Dalam mengambil keputusan selalu didasarkan atas asas kebersamaan dan kekeluargaan. Semua aspirasi dari bawah diterima dan dianalisa kembali dalam rapat tertentu, sehingga tercipta suasana yang demokratis dalam usaha memajukan sekolah.

Implementasi Desentralisasi Pendidikan Ditinjau dari Segi Pengelolaan Pembelajaran di SD Negeri 1 Semarapura Tengah, Klungkung.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memahami bagaimana anak-anak belajar, bagaimana perilaku belajar yang telah berlangsung pada mereka, bagaimana informasi yang diperoleh dari lingkungan diproses sehingga menjadi dasar pengetahuan milik mereka dan kemudian mereka kembangakan, dan bagaimana informasi itu haris disampaikan agar siswa dapat mencerna dan diingat dalam waktu yang lama (Dahar, 1989), adalah dasar yang telah menjadi pemikiranan bagi pelaku pendidikan. Berdasarkan hal itu banyak dikembangkan teori-teori belajar, metode-metode belajar, strategi belajar. Salah satunya yang sekarang sedang gencarnya dilaksanakan adalah merubah sistem pembelajaran dari belajar berpusat pada guru (teacher centerde) ke pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Perubahan paradigma pembelajaran juga menekankan agar meninggalkan pronsif bahwa belajar adalah transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik, dan mulai menggunakan prinsif bahwa belajar adalah proses pengkonstruksian pengetahuan peserta didik secara mandiri yang tentunya dibawah pengawasan gurunya.
Berdasarkan hal tersebut, di SD Negeri 1 Semarapura Tengah sudah ada beberapa guru yang menerapkan metode belajar konstruktivisme. Guru mengajak siswa jalan-jalan (study-rekreasi) ke suatu tempat, yaitu objek wisata kerta gosa yang ada di sebelah timur sekolah. Siswa dihadapkan dengan permasalah riil yang ada di lingkungannya. Kemudian siswa disuruh untuk mengumpulkan informasi sebagai temuan mereka dilapangan. Sebelum berangkat tentunya siswa tersebut telah dibekali dengan beberapa catatan oleh gurunya. Siswa dibebani dengan sebuah laporan kecil hasil temuan mereka. Setelah informasi terkumpul, siswa disuruh menyampaikan hasil temuannya di kelas dalam kegiatan pembelajaran. Setelah selesai, kemudian guru menekankan hal-hal yang dianggap penting dalam pembelajaran tersebut.
Berdasarkan uraian informasi tersebut, pembelajaran sudah mengarah pada siswa (student centered) dan tentunya peran guru sebagai mediator dan fasilitator bagi pebelajar sesuai dengan tuntutan konstruktivis telah terlaksana. Menurut bapak Wayan Suarjana selaku kepala sekolah SD Negeri 1 Semarapura Tengah hanya beberapa guru saja yang baru melaksanakan kegiatan seperti itu (kurang lebih baru 3 orang guru), sementara yang lainnya masih dianggap melaksanakan pembelajaran secara konvensional di dalam kelas, bahkan masih ada guru yang terlalu mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode ceramah. Ternyata setelah ditanya oleh kepala sekolah pada saat supervisi dilakukan, mereka menyampaikan pernyataan bahwa materi yang diberikannya masih baru, sehingga terlebih dulu siswa harus diberikan pemahaman.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan uraian dari pembahasan dapat diambil simpulan sebagai berikut.
1. Implementasi desentralisasi pendidikan ditinjau dari sisi kebijakan manajemen di SD Negeri 1 Semarapura Tengah telah terlaksana dengan baik. Desentralisasi kebijakan tersebut antara lain: pengelolaan proses belajar mengajar, perencanaan dan evaluasi, pengelolaan kurikulum, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan fasilitas pendidikan, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyatrakat, dan pengelolaan iklim sekolah.
2. Kehadiran warga sekolah dan masyarakat dalam mengambil kebijakan sudah dapat dikatakan memenuhi kuota setengah lebih, walaupun belum mencapai target seratus persen.
3. Implementasi desentralisasi pendidikan ditinjau dari segi kebijakan pembelajaran di SD Negeri 1 Semarapura Tengah sudah cukup berjalan baik. Dari segi pengelolaan kelas dan kurikulum, diserahkan pada masing-masing guru.
4. Dalam melaksanakan pembelajaran belum semua guru mampu mengubah pola belajar dari teacher centered ke pola student centered.

3.2 Saran
Pada kesempatan ini ada beberapa saran yang ingin disampaikan berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan, yaitu sebagai berikut.
1. Bagi warga sekolah dan masyarakat, diharapkan kehadirannya dan keikutsertaannya dalam pengambilan kebijakan sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah.
2. Kepada para guru, diharapkan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum yang terbaru, yaitu menerapkan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), dan lebih menerapkan model-model pembelajaran yang inovatif.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Internet. Diakses tanggal 21 Oktober 2008 pada http://pakguruonline.pendidikan.net/ mpmbs.html

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dantes, Nym. 2007. Perspektif dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan Global, Suatu Keharusan Peningkatan Profesionalisme Guru. Makalah, disampakaikan dalam seminar peningkatan mutu dan profesionalisme guru SMK Negeri 1 Denpasar, 22 September 2007. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Degeng, I N. S. 2001. Landasan dan Wawasan Kependidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Santyasa. 2008. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Sains Bermuatan Peta Konsep dan Model Perubahan Konseptual serta Pengaruhnya terhadap Penalaran Siswa. Usulan Penelitian Hibah Penelitian Pascasarjana. Undiksha.

Tidak ada komentar: