Kamis, 26 Februari 2009

Filsafat Ilmu

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia, laki maupun perempuan pada dasarnya selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial. Mereka hidup berdampingan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Untuk dapat hidup bersama setiap laki maupun perempuan mempunyai naluri untuk saling mencintai, saling membutuhkan dalam segala bidang, dan telah menyadari perannya masing-masing. Sebagai tanda seorang menginjak masa ini, biasanya diawali dengan adanya prosesi perkawinan. Namun prosesi itu berbeda-beda untuk setiap daerah.

Perkawinan merupakan peristiwa suci dan juga merupakan kewajiban bagi umat manusia secara biologis dalam melestarikan jenisnya. Dalam pelestarian tersebut, setiap manusia khususnya umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut dengan Catur Purusa Arta, yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Semua tujuan tersebut dapat diwujudkan atau dilaksanakan secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan tujuan tersebut disebut dengan Catur Asrama, yang teridiri dari Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta, dan Sanyasa.

Tujuan hidup pada Brahmacari difokuskan untuk mewujudkan Dharma. Grahasta memfokuskan tujuan hidup dalam mewujudkan Artha dan Kama. Sedangkan pada Wanaprasta dan Sanyasa memfokuskan tujuan hidup untuk mencapai Moksa. Khusus pasa Grahasta, proses yang harus dilalui disebut dengan perkawinan (wiwaha), yang menurut lontar Agastya Parwa memiliki tugas pokok dalam mewujudkan suatu kehidupan yang Dharma secara mandiri. Hal ini berarti kemadirian dan profesionalisme yang harus benar-benar dipersiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan berdasarkan Dharma (Sudiada, 2008).

Masyarakat Bali sampai saat ini secara umum telah melakukan tahapan Catur Asrama tersebut. Khusus terhadap Grahasta, perkawinan pun masih memandang kasta seseorang. Kasta masih dianggap sebagai warisan yang patut dilestarikan, khususnya bagi masyarakat yang hidup di daerah pedesaan yang semi modern. Di beberapa daerah, masyarakat ini dapat dikatakan memiliki pola pikir yang tergolong komunal, sehingga dalam menentukan pasangan hidup anaknya sering menimbulkan keributan antara anggota keluarga, baik inter anggota keluarga laki-laki dan perempuan maupun antar anggota keluarga laki-laki dan perempuan.

Daerah-daerah di Bali yang sampai saat ini masih memberlakukan dan mengalami konflik ini adalah beberapa masyarakat di Gianyar, Bangli, dan Klungkung. Bahkan, beberapa dari anak-anak tersebut memilih pasangan hidup dari keluarga berkasta walaupun mereka masih ada kekerabatan atau ada hubungan darah yang dekat. Anak-anak ini biasanya patuh terhadap orang tua mereka, walaupun mereka sampai mengenyam pendidikan tinggi dan mengetahui akibat dari perkawinannya tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang dikaji akan dibatasi sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pandangan Hindu dalam menyikapi perkawinan masyarakat yang mempertahankan sistem kasta?

2. Bagaimanakah pandangan Ilmu Pengetahuan dan Teknoligi dalam menyikapi perkawinan masyarakat yang mempertahankan sistem kasta?

1.3 Tujuan Penulisan

Sejalan dengan latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. bagaimana pandangan Hindu dalam menyikapi perkawinan masyarakat yang mempertahankan sistem kasta, dan

2. bagaimana pandangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam menyikapi perkawinan masyarakat yang mempertahankan sistem kasta.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat dipetik dari penulisan makalah ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis.

1.4.1 Manfaat Praktis

Makalah ini dapat menggambarkan keadaan riil tentang perkawinan yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengevaluasi diri dan mengambil tindakan selanjutnya, guna mencegah hal-hal yang dapat menyebabkan menurunya kualitas hidup (survival of live) manusia.

a. Manfaat bagi penulis

Penulisan makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan mengembangkan wawasan penulis tentang keadaan masyarakat Bali dalam kaitannya dengan perkawinan yang dilakukannya, khususnya bagi masyarakat yang mempertahankan system kasta.

b. Manfaat bagi pembaca

Makalah ini dapat memberikan gambaran dan pengetahuan kepada pembaca untuk lebih memahami dan memaknai arti dari perkawinan yang dilakukan, bukan semata-mata untuk mengeksiskan nama keluarga atau kasta tetapi yang lebih penting untuk menjaga kualitas manusia dimasa mendatang.

1.4.2 Manfaat Teoritis

Penulisan makalah ini dapat dijadikan referensi bagi pengembang dan peneliti sosial kemasyarakatan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan masyarakat Bali hingga dapat mengurangi ketidakvalidan data yang akan diperoleh.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pandangan Hindu dalam Menyikapi Perkawinan Masyarakat yang Mempertahankan Sistem Kasta

Secara etimologi, perkawinan berasal dari kata kawin, yang artinya pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan menurut Hindu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perkawinan sama dengan pawiwahan, yang berasal dati kata wiwaha yang artinya pesta penikahan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997). Secara semantik, pewiwahan dapat dipandang dari sudut yang berbeda-beda sesuai dengan pedoman yang digunakan.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir bhatin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Dalam Buku Pokok-Pokok Hukum Perdata dijelaskan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Menurut Wirjono Projodikoro, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui negara.

Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan, perkawinan adalah institusi dan pranata sosial yang menyangkut kebiasaan atau tradisi yang diberlakukan dan diikuti. Menurut Pudja (1963) dalam Sudiada (2008) menyatakan pranata sosial menunjukan bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan, dan diatur dalam segala hal untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai suatu institusi. Sementara Ter Haar dalam Sudiada (2008) juga menyebutkan bahwa perkawinan menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi, dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan.

Dengan terjadinya perkawinan, suami istri berkewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti ikatan seorang pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak suami dan pihak istri.

Lebih luas lagi, perkawinan dilaksanakan tidak hanya bagi yang masih hidup, tetapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat terlihat dalam upacara / prosesi perkawinan Hindu khususnya di Bali, setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara adat menggunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka, baik bagi leluhur wanita sebagai permohonan undur diri (pamitan) maupun leluhur pria sebagai penyampaian (matur piuning) adanya penambahan anggota keluarga.

Berdasarkan hal tersebut, Parisada Hindu Dharma Pusat (1985) dalam Sudiada (2008) menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan secara sekala-niskala (lahir-bhatin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi). Dengan demikian, perkawinan merupakan ikatan sekala-niskala antara seorang pria dengan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum adat, agama, dan negara.

Tujuan perkawinan menurut Titib adalah 1) Dharmasampati, yaitu kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama, seperti melaksanakan yadnya (persembahan), sebab di dalam Grahasta yadnya dapat dilaksanakan dengan sempurna. 2) Praja, yaitu kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui yadnya dan lahirnya putra yang suputra, seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra Rna), kepada para Dewa (Deva Rna), dan kepada para guru (Rsi Rna). 3) Rati, yaitu kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan Kama) yang tidak bertentangan etika dan susila dan berlandaskan dharma.

Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya skola 2 disebutkan ri sakwehning sarwa bhuta, iking jadma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang, yang artinya dari demikian banyaknya mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik dan tidak baik, dan untuk melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.

Sloka tersebut bermakna dengan menjelma sebagai manusia, perbuatan (karma) dapat diperbaiki menuju yang lebih baik dan sempurna. Melahirkan anak suputra melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Dengan demikian, perkawinan menurut Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral. Oleh sebab itu, pada zaman weda perkawinan ditentukan oleh Resi yang mampu melihat masa depan dengan penglihatan rohaninya. Perkawinan akan disetujui dan dilangsungkan jika masa depan kedua mempelai bahagia.

Pasangan mempelai yang tidak cocok dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dipastikan dapat berakibat fatal bagi kedua mempelai, keluarga, dan keturuannya kelak. Pada zaman sastra, perkawinan tidak lagi ditentukan oleh Resi, tetapi oleh raja atau orang tua mempelai. Saat ini perkawinan dilakukan dengan mempertimbangkan kehidupan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekakayaan, kecantikan, kegantengan, dan sebagainya, sehingga saat zaman inilah dipandang sebagai awal merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan dalam melangsungkan perkawinan. Banyak terjadi perkawinan antara orang-orang dekat yang masih ada hubungan kekerabatan. Salah satu faktor pemicunya adalah dalam rangka mempertahankan martabat keluarga dan kasta.

Masyarakat Hindu sebenarnya tidak pernah mengenal kasta, tetapi warna. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat hindu adalah karena adanya proses sosial yaitu perkembangan masyarakat yang diwariskan ke generasi penerusnya tanpa ada kejelasan makna dan mengaburkan pengetian warna. Kata kasta berasal dari bahasa Portugis, yaitu Caste yang artinya pemisah, tembok, atau batas. Dalam kitab suci Weda, kata kasta tidak ditemukan. Kasta itu sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti kayu. Tetapi sampai saat ini masyarakat / orang masih tetap menggunakan istilah kasta untuk membedakan dirinya dengan massyarakat / orang lain. Bahkan dimasyarakat sampai saat ini sering disebut terjadi turun kasta (nyeburin), karena yang kawin adalah orang yang dianggap memiliki kasta lebih tinggi dengan orang yang berkasta lebih rendah.

Masyarakat Hindu di Bali umumnya masih memandang warna sebagai suatu jabatan atau kedudukan sosial. Namun demikian kata warna jarang terdengar, tetapi tergantikan dengan istilah kasta yang masih kerap kali muncul utamanya saat terjadinya prosesi perkawinan ataupun pemakaman (pengabenan). Saat prosesi perkawinan, kasta cenderung menjadi masalah. Keluarga atau masyarakat yang memiliki kasta yang lebih tinggi cenderung menganjurkan dan memaksa anaknya untuk kawin dengan kasta yang sederajat atau lebih tinggi derajatmya (endogami). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pola pikir masyarakat yang masih feodal atau komunal akan keadaannya, atau mereka tidak memahami ajaran agama yang mereka anut sepenuhnya (megame ring kulit). Mereka belum memahami arti perkawinan yang sebenarnya, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Bahagia dan kekal yang dimaksud tidak akan dapat dilepaskan dengan keadaan anak-anaknya yang sehat secara jasmani dan rohani.

Perkawinan yang menghasilkan anak-anak yang tidak sehat, baik jasmani maupun rohani biasanya dilahirkan dari mereka yang melakukan perkawinan dengan kerabat dekatnya, baik secara paksa maupun atas kehendaknya sendiri dengan tujuan untuk mempertahankan kastanya. Walaupun sampai saat ini belum ada laporan yang menyatakan bahwa perkawinan dengan kasta yang sama melahirkan anak yang cacat, tetapi bahasanya dialihkan menjadi perkawinan dengan kerabat dekat akan cenderung menghasilkan keturunan yang cacat, baik fisik maupun mentalnya. Jika perkawinan inter kasta ini terus dipertahankan, misalnya jika si wanita dari Dewa Ayu, si pria harus dari sederajatnya atau lebih tinggi, maka suatu saat akan kesulitan mencari pasangannya, seperti beberapa teman yang sempat diwawancarai di Kabupaten Klungkung. Solusi yang mereka terima adalah kawin dengan sesama kerabat dekat dari orangtuanya, misalnya orangtua si bapak ataupun ibunya. Hal ini akan kemungkinan terjadi secara terus menerus atau secara turun temurun, sehingga diperkirakan akan dilahirkan kualitas manusia yang terus menurun. Selain itu pasangan pengantin dipaksa untuk saling mencintai. Akibat paksaan ini, akan membuat ketidaknyamanan dan akan berujung pada ketidakbahagiaan keluarganya, dan bahkan berujung pada perceraian yang dapat dipicu oleh beberapa masalah kebutuhan jasmani maupun rohani. Untuk menghindari hal ini, hendaknya masyarakat mulai menyadari dan memutus mata rantai perkawinan kerabat dekat baik dengan alasan untuk mempertahankan kasta maupun alasan yang lainnya, seperti ekonomi dan harta warisan.

Menurut ajaran Hindu yang tertuang dalam kitab Manawa Dharmasastra IX. 101-102 menyebutkan hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri. Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain. Pada keluarga, dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal (Pudja, 2002 dalam Anonim, 2008). Dengan demikian ajaran hindu sebenarnya melarang adanya perkawinan antara anggota keluarga yang dekat kekerabatannya, untuk menuju kehidupan yang damai, sejahtera, bahagia lahir dan bhatin.

2.2 Pandangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Menyikapi Perkawinan Masyarakat yang Mempertahankan Sistem Kasta

Sebelum majunya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, kitab suci dari berbagai agama telah melarang adanya perkawinan antara kerabat yang dekat, apalagi masih satu darah. Walaupun demikian masyarakat tertentu, seperti masyarakat di beberapa daerah di Bali tetap mempertahankan budaya endogami tersebut.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka larangan-larangan yang termuat dalam kitab suci, berusaha dibeberkan oleh para ilmuan. Salah satunya adalah adanya kelainan dan penyakit pada filial atau keturunan yang dihasilkan dari perkawinan kerabat dekat. Kelainan dan penyakit tersebut seperti albino dan hemofili pada manusia. Penyakit ini telah diketahui dibawa oleh gen resesif yang tersimpan dalam kromosom manusia, baik pada genosom maupun autosom. Gen-gen ini akan lebih cenderung muncul jika variasi gen sangat sedikit. Variasi gen yang sedikit ini ada pada keluarga atau masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Kalau di Bali ada istilah misan dan mindon, entah dari bapak, ibu, nenek, maupun kakeknya.

Pada beberapa jenis binatang, termasuk manusia yang telah melakukan perkawinan dengan kerabat dekatnya secara turun temurun telah terbukti sebagian besar dari mereka menghasilkan keturunan yang cacat. Hal ini diketahui penyebabnya setelah berkembangnya ilmu genetika, yang khusus mengkaji tentang pewarisan sifat dari parental (induk) kepada filialya (keturunannya). Dijelaskan, proses perkawinan ini berpengaruh pada homozygosis (alel pada lokus yang sama di kedua anggota daripada kromosom yang saling berpasangan atau gen yang sama). Gen homozygot ini memiliki sifat yang dominan dan dianggap menguntungkan bagi individu yang bersangkutan, sehingga individu tersebut lebih sehat dan lebih produktif. Tetapi jika sampai terjadi penurunan sifat resesif dari gen heterozygot dapat menyebabkan cacat turunan atau terbentunya gen letal pada keturunannya. Gen letal biasanya menyebabkan kematian pada bayi atau anak pada usia tertentu. Jadi umur bayi atau anak tersebut adalah pendek.

Di Bali, terutama di daerah pedalaman yang masih kental dengan tradisi niskalanya, sering kali mengkaitkan kematian bayi atau anak tersebut akibat adanya kutukan atau dimakan (amah) leak. Hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman mereka akan dunia medis utamanya terhadap ilmu pewarisan sifat, sehingga selalu mengkambinghitamkan dunia niskala. Dengan demikian, para ahli biologi dan genetika bersama-sama dengan ahli psikologi berusaha memberikan pengertian kepada seluruh lapisan masyarakat dalam usaha memahami keadaan dan kejadian tersebut. Mereka (para ahli) berusahan memberikan keterangan yang mudah diserap dan dicerna oleh masyarakat melalui bahasa yang cukup sederhana, seperti perkawinan sedarah atau kerabat dekat akan memungkinkan peluang yang lebih besar untuk lahirnya seorang anak yang cacat sebagai akibat bertemunya kromosom dari gen resesif yang menyebabkan kelainan atau penyakit turunan tertentu.

Menurut hukum Mendel, gen setelah mengalami segregasi bebas akan berpasang-pasangan secara bebas pula, sehingga besar kemungkinan terjadi peluang lahirnya anak dengan gen yang resesif. Sebagai contoh, pada perkawinan binatang (tikus) yang sedarah menyebabkan gangguan kesehatan pada keturunannya. Daya tahan tubuh keturunannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan induknya. Jika perkawinan sedarah ini terus dilanjutkan, maka akan menghasilkan keturunan yang cacat dan bahkan mati sebelum lahir. Hal ini terjadi sering sekali dari anggota yang mempunyai gen sama dari kedua anggota di keturunan yang sama cenderung bersifat melindungi, tetapi sering pula terjadi pada gen yang terdesak (resesif) dapat menjadi masalah keturunan. Berdasarkan perhitungan genetika, anak dari kedua orang tua yang menderita albino maupun hemofili, yang dalam hal ini bersifat heterozygot akan mempunyai kesempatan 25% dari hemofilia yang diderita oleh orang tuanya. Jika anak ini yang kebetulan lahir atau meninggal dalam kandungan, maka dianjurkan pasangan tersebut untuk tidak melakukan perkawinan atau membatalkan perkawinannya.

Untuk mengantisifasi hal tersebut, peta silsilah keluarga dari masing-masing calon suami dan istri harus diketahui. Peta silsilah tersebut harus ditelusuri sampai pada beberapa generasi diatasnya. Menurut Leavit (1990) dalam Nikie (2008) mereka yang berpopulasi kecil berkesempatan untuk mengetahui bahaya heterozygot yang terjadi, sehingga mereka bisa mengantisifasinya dengan melakukan perkawinan exogami. Tetapi jika populasinya semuanya homozygot, maka perkawinan sedarah atau endogami diperbolehkan dan tentunya disesuaikan dengan kondisi adat setempat.

Di Bali dengan heterogenitas dan padatnya penduduk khususnya didaerah perkotaan kemungkinan untuk melakukan endogami sangat kecil, tetapi di daerah terpencil dan pedalaman kemungkinan tersebut menjadi besar. Dengan asumsi ini diperkirakan kejadian gen letal, yaitu gen yang menyebabkan kematian pada janin atau bayi relatif lebih besar daripada daerah perkotaan. Demikian pula terhadap kematian ibunya. Berdasarkan beberapa laporan dan pengamatan, bahwa di daerah yang terpencil lebih banyak kelihatan adanya yang kurang sehat baik secara fisik maupun mental. Sehingga hal ini dapat diprediksikan sebagai akibat dari perkawinan kerabat dekat atau sedarah, walaupun kemungkinan faktor lain masih ada.

Bersadarkan data-data tersebut, bahwa pewarisan sifat dari orang tua ke anaknya melibatkan gen. Gen yang dianggap berpengaruh negatif sebagian besar muncul dari perkawinan sedarah atau memiliki kekerabatan yang dekat. Dengan demikian, dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan gambaran dan bukti-bukti yang tersirat untuk melarang umat manusia melakukan perkawinan dengan anggota keluarga dekat.


BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan uraian pada pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Masyarakat Bali khusunya Hindu melarang adanya perkawinan dengan kerabat dekat, apalagi dengan saudara sedarah.

2. Beberapa daerah di Bali masih mempertahankan tradisi melakukan perkawinan sekerabat dengan tujuan mempertahankan kasta atau mempertahankan martabat keluarga.

3. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, secara genetis perkawinan dengan kerabat dekat atau sedarah lebih besar memberikan peluang untuk menhasilkan keturunan yang cacat atau kelainan dan penyakit tertentu dan bahkan menimbulkan kematian.

3.2 Saran

Berdasarkan uraian pada pembahasan, saran yang penulis dapat sajikan adalah sebagai berikut.

  1. Masyarakat tidak harus mempertahankan budaya atau tradisi kawin dengan kerabat dekat untuk menjaga nama dan martabat keluarga melalui perkawinan sekasta atau dengan kastanya yang lebih tinggi.
  2. Perlu dilakukan penelitian terhadap daerah-daerah di Bali yang masih menerapkan perkawinan endogami dalam usaha mempertahankan kastanya.
  3. Perlu juga dilakukan penelitian untuk membandingkan kondisi dan kesehatan jasmani dan rohani anak di perkotaan dengan di pedalaman yang ada kaitannya dengan kondisi genetis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ilushi. 2008. Hukum Hindu. Artikel Internet, diakses di http://ilushi.blogspot.com/2008/ 11/wiwaha-samskara.html pada tanggal 11 Oktober 2008.

Nikie. 2008. Permasalahan Kesehatan Wanita dalam Dimensi Sosial dan Upaya Mengatasinya. Artikel Internet, diakses di http://one.indoskripsi.com/artikel-skripsi-tentang/permasalahan-kesehatan-wanita-dalam-dimensi-sosial-dan-upaya-mengatasinya

Titib, I Made.-. Menumbuhkembangkan Pendidikan Agama pada Keluarga. Makalah (tidak diterbitkan).

Tidak ada komentar: